Digitalisasi Kampus: Membuka Akses atau Justru Membingungkan?

Transformasi digital telah menjangkau hampir semua lini kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan tinggi. Kampus-kampus di Indonesia berlomba menerapkan sistem digital mulai dari pendaftaran mahasiswa baru, sistem akademik, absensi, hingga sistem e-learning. Tapi di balik euforia digitalisasi ini, muncul pertanyaan penting: Apakah benar digitalisasi kampus mempermudah akses mahasiswa, atau justru menciptakan kebingungan baru?


Manfaat Digitalisasi di Kampus

Tak dapat dipungkiri, kehadiran teknologi digital membawa banyak keuntungan bagi civitas akademika:

  • Akses informasi lebih cepat dan mudah, dari mana saja dan kapan saja.
  • Efisiensi waktu dan biaya, terutama untuk urusan administrasi seperti KRS, KHS, dan pengajuan surat.
  • Peningkatan transparansi, baik nilai, kehadiran, maupun pengajuan beasiswa.
  • Kemudahan dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang terbukti penting di masa pandemi.

Dengan adanya platform seperti SIAKAD, e-learning, atau LMS, mahasiswa bisa lebih mandiri dan dosen bisa lebih fleksibel dalam menyampaikan materi.


Tantangan di Lapangan: Gap Teknologi dan Beban Mental

Namun di balik semua kemudahan itu, tidak sedikit mahasiswa yang merasa terbebani oleh sistem digital kampus. Beberapa permasalahan yang sering muncul:

  • Antarmuka sistem yang tidak ramah pengguna, membingungkan bagi mahasiswa baru
  • Banyak platform berbeda yang tidak terintegrasi (misal: satu platform untuk nilai, satu untuk absen, satu lagi untuk kuliah online)
  • Kendala jaringan internet, terutama bagi mahasiswa di daerah
  • Kurangnya pelatihan atau panduan penggunaan, baik untuk mahasiswa maupun dosen

Digitalisasi yang tidak dibarengi edukasi dan pendampingan justru dapat menciptakan tekanan mental baru bagi mahasiswa yang harus belajar sendiri menghadapi sistem yang kompleks.


Perspektif Mahasiswa: Efisiensi atau Formalitas Digital?

Beberapa mahasiswa melihat digitalisasi kampus hanya sebagai formalitas perubahan zaman. Ada sistem digital, tetapi masih banyak proses manual yang berjalan di belakang layar, seperti tanda tangan fisik, pengumpulan berkas hardcopy, atau antrian panjang di loket kampus.

Alih-alih efisien, banyak yang merasa prosesnya menjadi dua kali kerja: digital dulu, lalu manual.


Solusi: Digitalisasi yang Berorientasi pada Pengguna

Agar digitalisasi kampus benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar slogan, perlu dilakukan beberapa perbaikan strategis:

  • Desain ulang sistem dengan pendekatan UX (user experience)
  • Integrasi antar sistem agar cukup login sekali untuk semua layanan
  • Pelatihan rutin untuk mahasiswa dan dosen
  • Adanya helpdesk digital 24 jam yang siap membantu pengguna
  • Evaluasi rutin dari pengguna untuk perbaikan berkelanjutan

Digitalisasi harus berorientasi pada kemudahan, bukan pada gengsi teknologi semata.


Kesimpulan

Digitalisasi kampus adalah langkah maju yang tidak dapat dielakkan. Namun, keberhasilannya tidak hanya diukur dari jumlah platform atau fitur yang tersedia, tapi dari seberapa besar manfaat yang dirasakan mahasiswa dan dosen. Jika tidak dikelola dengan baik, digitalisasi justru bisa menjadi labirin yang membingungkan, alih-alih menjadi jalan pintas menuju pendidikan yang lebih baik.