- by sonedu
- 0
- Posted on
Mahasiswa dan Kesehatan Mental: Masih Jadi Isu yang Terabaikan?
Kesehatan mental mahasiswa merupakan isu yang semakin relevan di tengah tekanan akademik, sosial, dan ekonomi yang kian kompleks. Meski demikian, masih banyak yang menganggap persoalan ini sebagai hal sepele, bahkan tabu untuk dibicarakan secara terbuka.
Faktanya, krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa adalah nyata, dan jika tidak ditangani dengan serius, dapat berdampak jangka panjang terhadap masa depan generasi muda bangsa.
Tekanan Akademik yang Tak Kunjung Reda
Salah satu sumber stres terbesar bagi mahasiswa adalah beban akademik. Tugas bertumpuk, target IPK tinggi, dan tekanan lulus tepat waktu menjadi momok yang menghantui.
Tak jarang, mahasiswa mengalami burnout, kehilangan motivasi belajar, dan merasa tidak berdaya menghadapi tuntutan kampus.
Masalah Sosial dan Lingkungan
Mahasiswa juga harus menghadapi dinamika sosial yang tak kalah rumit: pertemanan, konflik pribadi, tekanan dari keluarga, hingga kesepian akibat merantau. Semua itu bisa memicu:
- Kecemasan sosial
- Perasaan tidak cukup baik
- Depresi ringan hingga berat
Lingkungan kampus yang kompetitif, tanpa dukungan emosional yang memadai, hanya akan memperparah keadaan.
Dampak Ekonomi Juga Berperan
Banyak mahasiswa yang harus bekerja paruh waktu demi mencukupi kebutuhan hidup. Keseimbangan antara kerja dan kuliah menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi soal biaya pendidikan yang tinggi, yang menjadi beban mental bagi sebagian besar mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
Stigma Masih Kuat di Sekitar Kesehatan Mental
Salah satu kendala utama dalam menangani isu ini adalah stigma. Mahasiswa yang mengalami gangguan psikologis sering dianggap “lemah”, “manja”, atau “tidak bersyukur”.
Akibatnya, banyak yang memilih memendam masalahnya sendiri, bahkan enggan mencari bantuan profesional karena takut dihakimi atau dijauhi.
Data dan Fakta
Sebuah survei nasional yang dilakukan oleh Kemenkes dan lembaga kesehatan mental independen menunjukkan bahwa:
- Sekitar 36% mahasiswa mengalami gejala depresi ringan hingga sedang.
- 27% pernah berpikir untuk mengakhiri hidup akibat tekanan berat.
- Hanya 12% yang benar-benar mengakses layanan konseling kampus.
Ini menandakan adanya gap besar antara kebutuhan dan layanan yang tersedia.
Peran Kampus: Antara Ada dan Tiada
Beberapa kampus sudah memiliki unit layanan konseling mahasiswa, namun masih sangat terbatas. Bahkan, tak jarang mahasiswa tidak tahu bahwa layanan semacam itu tersedia.
Idealnya, kampus harus menyediakan:
- Psikolog kampus yang terlatih dan bisa diakses dengan mudah.
- Kelas atau workshop manajemen stres dan kecemasan.
- Ruang aman untuk diskusi tanpa stigma.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
- Normalisasi Diskusi Kesehatan Mental
Mulai dari obrolan kecil dengan teman, hingga kampanye sosial di lingkungan kampus. - Saling Peduli dan Dukung
Jangan abaikan teman yang mulai menarik diri, sering terlihat murung, atau berkata hal-hal negatif tentang dirinya sendiri. - Manfaatkan Layanan yang Ada
Jangan ragu untuk mencari bantuan profesional, baik dari konselor kampus, layanan psikologi daring, atau komunitas pendukung. - Bangun Sistem Kampus yang Inklusif dan Ramah Mental
Tekankan pentingnya keseimbangan hidup dan akademik, bukan hanya nilai IPK semata.
Kesimpulan
Kesehatan mental mahasiswa bukanlah hal sepele. Ini adalah fondasi penting untuk menciptakan generasi muda yang kuat, produktif, dan berdaya saing. Sudah saatnya semua pihak—kampus, dosen, orang tua, dan mahasiswa sendiri—bersama-sama membangun kesadaran, empati, dan sistem yang lebih peduli terhadap kesehatan mental.
